Selasa, Mei 10, 2011

ASUHAN KE[ERAWATAN SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Pengertian
 SLE  (Sistemisc  lupus  erythematosus)  adalah  penyakti  radang  multisistem  yang sebabnya  belum  diketahui,  dengan  perjalanan  penyakit  yang  mungkin  akut  dan fulminan  atau  kronik  remisi  dan  eksaserbasi  disertai  oleh  terdapatnya  berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. 
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem   imun   dan  produksi    autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kandung pada bagian tubuh lainnya(WWW. Medicastrore. Com. 2004).
Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1.      Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).


2.      Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3.      Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Insiden
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi  oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

Etiologi
·  Faktor genetik
 Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen   yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
·  Faktor lingkungan
 Menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).
Kriteria
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1.Malar rash :erythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial.
2.Discoid rash :Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang atofi.
3.Fotosensitivitas. :Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4.Ulkus oral : Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.
5.Arthritis : nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri,bengkak,atau efusi.
6.Serositis : Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusi pleura.Pada pericarditis tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard.
7.Gangguan Renal : proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin granular,tubular,atau campuran.
8.Kelainan neorologis : psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9.Kelainan hematologis :anemia hemolytic, leukopenia(<4000/μL), limfopenia (<1500/μL), trombositopenia (<100.000/μL).
10.Kelainan imunologis : Anti ds-DNA  , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos)  ,Antifosfolipid antibody,STS false positve.
11.Antibodi antinuclear : ANA test +., Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

WOC SLE
Gangguan imunoregulasi

Peningkatan autoantibodi

Komplek imun dan kerusakan jaringan
 

Perubahan fungsi barier kulit              Inflamasi                                             Kelemahan otot
Rounded Rectangle: Nyeri akut/ kronisRounded Rectangle: Gangguan citra tubuh                                                                                                             Rasa nyeri saat gerak
                                                                                                            Penurunan rentang gerak
Rounded Rectangle: Kerusakan mobilitas fisik
 

Rounded Rectangle: Kerusakan integritas kulitPeningkatan aktivitas penyakit
Rounded Rectangle: keletihan

                                                           





Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia  umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki  (Delafuente, 2002).
·       Gejala di kulit
 Dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis  eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
·       Gejala SLE pada jantung 
 Sering ditandai adanya perikarditis,  miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
·         Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi
Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi  vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
·         Gejala SLE pada susunan saraf yaitu
Terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
·         Gejala hematologik
Umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien  saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada  5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE, sebaliknya pemeriksaan serum akan mengungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan anti bodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic (Smeltzer dan Suzanne, 2001)
Ø  Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif          : < 70 IU/mL
Positif             :  > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
Ø  Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
Ø  Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.9  Pengobatan
Ø  Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
 NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
Ø  Corticosteroids
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
1.    Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
2.    Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
3.    Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
Ø  Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
Ø  Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai “steroid sprring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1  Pengkajian
1.    Identitas
Umur : biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Jenis Kelamin : Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara wanita dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita dalam usia produktif.

2.    Riwayat Keperawatan
a.    Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b.    Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien biasanya mengeluh sama dengan keluhan utamanya, tetapi respon tiap orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE tergantung imunitas masing-masing.
c.    Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya akan didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri, kaku, anorksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d.   Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.
3.2 Pemeriksaan Fisik
a.     Status Kesehatan Umum
b.    Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
c.    Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan pasien
d.   Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
e.    Sistem Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
f.     Sistem Persyarafan
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
g.    Sistem Pencernaan
Menurunnya frekuensi eliminasi BAB, mual, muntah, terdengar suara bising usus jelas.
h.    Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
i.      Sistem Muskuluskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
3.3 Diagnosa dan Intervensi

1.      Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Kriteria Hasil : - Pasien merasa derajat nyeri menurun
-   Pasien dapat melakukan relaksasi dan distraksi
-   Pasien bisa mengendalikan rasa nyeri
Intervensi :

a.         Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)

R/  mengendalikan rasa nyeri dan relaksasi terhadap nyeri

b.        Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

R/ mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan pasien

c.         Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.

R/ mengatur kesiapan pasien untuk melakukan pengobatan

d.        Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.

R/ mengetahui derajat keparahan nyeri pasien

e.         Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

R/ menjelaskan efek dari pengobatan yang sedang dijalani sekarang

f.         Bantu dalam mengenali nyeri dalam  kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

R/  metode terapi nyeri yang tepat

g.        Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

R/ mengetahui respon nyeri

2.      Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri.

Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan.
Kriteria Hasil :
-          pasien tidak merasa letih
-          pasien bisa melakukan aktivitas hidup sehari-hari dengan maksimal
-          pasien merasa nyaman dan senang
Intervensi :

a.         Beri penjelasan tentang keletihan

R/  membantu pasien dalam memahami tentang gejala yang dideritanya

b.        hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan

R/ mencegah terjadiya komplikasi

c.         menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya

R/ pasien merasa tidak takut dan merasa nyaman

d.        mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin untuk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)

R/ kebutuhan istirahat tidur tercukupi dan pasien merasa nyaman

e.         menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional

R/ dapat mengendalikan emosionalnya

f.         menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga

R/ pasien mengetahui tentang pola penggunaan tenaga

g.        kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.

R/ untuk mengontrol aktivitas yang dilakukan pasien

h.        Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.

R/ membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan istirahat tidur

i.          Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

R/ memotivasi pasien dalam melkukan program terapi

j.          Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

R/ kebutuhan nutrisi tubuh tercukupi

3.    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Kriteria Hasil :
-          Pasien tidak merasa nyeri saat bergerak
-          Pasien bisa melakukan mobilitas dengan optimal
Intervensi :

a.         Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

R/ untuk mengetahui keterbatasan dalam mobilitas

b.        Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :

·      Menekankan kisaran gerak pada sendi yang sakit
R/ mengurangi rasa sakit pada sendi
·      Meningkatkan pemakaian alat bantu
R/ membantu untuk mempermudah dalam mobilisasi

c.         Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

·      Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
R/  untuk menghemat tenaga
·      Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
R/  memulihkan energy
·      Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
R/ mencegah kerusakan sendi

4.    Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan perubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan  oleh penyakit.
Kriteria Hasil :
-          Pasien tampak percaya diri
-          Pasien tidak mengalami perubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan  oleh penyakit
Intervensi :
a.         Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
R/  pencegahan invasi terhadap penyakit
b.        Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
·      Membantu menilai situasi sekarang dan mengenali masalahnya.
R/  mengendalikan emosionalnya
·      Membantu mengenali mekanisme koping pada masa lalu.
R/ pertahanan emosional yang baik
·      Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

                                    R/ menjaga dan mempertahankan emosional pasien dengan baik

5.    Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

Tujuan : pemeliharaan integritas kulit
Kriteria Hasil :
-          Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
-          Tidak ada perubahan pada fungsi kulit
Intervensi :
a.         Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan malserasi
R/ agar kulit tidak terpajan langsung dengan sinar UV
b.        Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
R/ menghindari kerusakan integritas kulit
c.         Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
R/ menghambat reaksi sinar UV
d.        Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
R/ untuk memberikan efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik
  
BAB IV
P E N U T U P

4.1  Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem   imun   dan  produksi    autoantibodi yang berlebihan. Klasifikasi SLE ada 3 yaitu Discoid Lupus, Systemic Lupus Erythematosus, Lupus yang diinduksi oleh obat.
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan. Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE. Pengobatan  yang digunakan pada SLE adalah Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat mendukung pengobatan penyakit SLE.

4.2  Saran
1.        Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan S L E  diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat.
2.      Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan SLE  misalnya mematasi aktivitasnya.
3.      Dukungan psikologik sangat berguna untuk klien.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marlyne ( 2000 ) Rencana Asuhan Keperawatan EGC, Jakarta
Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Huriawati Hartanto dkk (eds). Edisi 29. Jakarta: EGC
Klein-Gitteman MS, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 809-812
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 1.Jakarta; Medi Aesculapius. Hal:568 dan 569
Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ktiga. EGC : Jakarta hal 150-159.
Suzanne, Smeltzer ( 2001 ) Keperawatan Medikal Bedah edisi 2 Vol 8. Jakarta : EGC
Symposium National Immunology Week 2004,Surabaya 9-10 Oktober 2004;hal201-213.
The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830
http://stikep.blogspot.com/penyakit/01/ html. 12.00. 25 Maret 2010
www. medicastore. Com./  penyakit langka, diakses 13.00. 26 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar