Selasa, Mei 10, 2011

INTEGRASI MEKANISME GINJAL UNTUK PENGATURAN VOLUME DARAH DAN VOLUME CAIRAN EKSTRASEL

TINJAUAN TEORI
A. Definisi Ginjal.
Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Ginjal terletak pada dinding bagian luar rongga abdomen, yang merupakan rongga terbesar dalam tubuh, tepatnya disebelah kanan dan kiri tulang belakang. Bentuk ginjal seperti biji kacang dengan panjang 6 sampai 7,5 cm dengan ketebalan 1,5 – 2,5 cm (Pearce, 1995).
Sitem urinary memiliki kontribusi ke homeostatis dengan cara merubah komposisi darah, pH, volume, dan tekanan darah; memelihara osmolaritas darah; mengeluarkan sisa metabolisme dan zat asing; serta memproduksi hormon.
Fungsi utama ginjal : Regulasi volume, osmolalitas elektrolit, dan konsentrasi asam basa cairan tubuh dengan mengekskresikan air dan elektrolit dalam jumlah yang cukup untuk mencapai keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh total,dan untuk mempertahankan konsentasi normalnya dalam cairan ekstraselular.

Fungsi ginjal yang kedua : Ekskresi produk sisa metabolik termasuk urea, asam urat, kreatinin, serta metabolit berbagai hormon dan obat-obatan.

Fungsi endokrin ginjal : Menghasilkan eritropoietin (penting dalam menghasilkan sel darah merah), renin (penting untuk regulasi tekanan darah), dan 1,25 dihidr¬oksi vitamin D3 (penting dalam regulasi metabolisme Ca++. (Dikutip dari Patofisiologi Price and Wilson... hal 890).


B. Mekanisme Ginjal untuk Pengaturan Volume Darah.
Salah fungsi endokrin ginjal adalah mengeluarkan hormon eritropoetin. Eritropoetin adalah suatu hormone glikoprotein yang terdapat dalam darah pada keadaan hipoksia,yang selanjutnya bekerja pada sumsum tulang untuk meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah.
Peran ginjal dalam pembentukan eritrooeitin : Pada orang normal kira ± kira 90 persen dari seluruh eritropeitin dibentuk di ginjal, sisanya dibentuk di hati namun masih belum jelas bagian ginjal yang mana yang dapat menghasilkan eritropoeitin ini.
Enzim ini disekresi didalam darah tempat ia beberapa menit bekerja pada salah satu globulin plasma,untuk memecahkan molekul glikoprotein eritropoetin. Eritropoetin selanjutnya beredar dalam darah sekitar kira-kira satu hari,dan selama waktu ini ia bekerja pada sumsum tulang dengan menyebabkan eritropoesis (proses pembentukan sel darah merah).
Pada keadaan tidak ada ginjal sama sekali,eritropoetin masih dibentuk dalam jumlah sedikit pada bagian tubuh lain,oleh karena itu tanpa adanya ginjal orang menjadi sangat anemia karena kadar eritropoetin dalam sirkulasi yang disebabkan oleh menurunnya volume darah.
Tetapi kemungkinan bahwa sel ± sel epitel tubulus ginjal yang mensekresi eritropoeitin. Karena darah yang anemic tidak dapat mengirim cukup  menjadi encer dan kelebihan air akan diekskresikan dengan cepat. Sebaliknya, pada waktu tubuh kehilangan air atau asupan zat terlarut berlebihan menyebabkan cairan tubuh menjadi pekat, maka urin akan sangat pekat sehingga banyak zat terlarut yang terbuang dalam kelebihan air. Hormon-hormon yang mempengaruhi reabsorpsi air, yaitu :
Hormon aldosteron adalah suatu hormon steroid yang dihasilkan oleh cortexadrenal sebagai respons terhadap kadar kalium darah yang tinggi, terhadapkadar natrium darah yang rendah, atau terhadap penurunan tekanan darah. Bila aldosteron merangsang reabsorpsi ion Na+, air akan ikut terabsorpsi darifiltrate kembali ke dalam darah. Hal ini membantu mempertahankan volumedan tekanan darah tetap normal.
Atrial natriuretic hormone (  ANH ), merupakan antagonis dari aldosteron yang disekresikan oleh atrium jantung saat dinding atrium teregang oleh tekanan darah yang tinggi atau oleh volume darah yang besar. ANH menurunkan reabsorpsi ion Na+ dan air oleh ginjal, sehingga ditemukandalam filtrate untuk diekskresikan. Dengan peningkatan pembuangan natriumdan air, ANH membantu menurunkan volume dan tekanan darah.
Hormon antidiuretik ( ADH ) atau Vasopresin, adalah suatu peptide yang dilepaskan oleh kelenjar pituitary posterior saat jumlah air di dalam tubuh turun. Di bawah pengaruh ADH, tubulus kontortus distal dan tubuluskolektivus mampu mereabsorpsi lebih banyak air dari filtrate ginjal. Hal inimembantu mempertahankan volume dan tekanan darah tetap normal, dan juga memungkinkan ginjal memproduksi urine yang lebih pekat dari pada cairan tubuh. Produksi urine yang pekat penting untuk mencegah kehilanganair secara berlebihan, tetapi tetap mengekskresikan semua zat yang harus dibuang
Jika jumlah air dalam tubuh meningkat, sekresi ADH akan berhenti dan ginjal akan mereabsorpsi lebih sedikit air. Urine menjadi lebih encer danair dibuang samapi jumlahnya di dalam tubuh kembali normal. Hal ini dapat terjadi setelah mengonsumsi air secara berlebihan.
Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara :

1) Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal.
2) Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal.
3) Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron (Anonim, 2009).
Tekanan darah akan menjadi tinggi karena melalui proses terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I, oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama (Astawan, 2009).
Pembentukan dan metabolisme angiotensin :


Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan pada uraian berikut. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut bahan renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptida asam amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut (Guyton dan Hall, 1997). .

Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk angiotensin II peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi selama beberapa detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton dan Hall, 1997).
Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan (Guyton dan Hall, 1997).
Selain itu ada hormone vasopressin yang juga disebut hormone antidiuretik, bahkan lebih kuat dari pada angiotensin II sebagai vasokonstriktor, sehingga menjadikannya sebagai salah satu zat vasokonstriktor terkuat tubuh. Zat ini dibentuk di sel saraf di dalam hipotalamus otak namun kemudian diangkut ke bawah oleh akson saraf ke kelenjar hipofise posterior tempat zat tersebut berada yang akhirnya disekresi ke dalam darah.
Jelaslah bahwa vasopressin dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap fungsi sirkulasi. Namun, dalam keadaan normal, hanya sejumlah kecil vasopressin yang disekresikan, sehingga banyak ahli faal menganggap bahwa vasopressin berperan kecil dalam pengaturan vascular. Akan tetapi, beberapa percobaan telah memperlihatkan bahwa konsentrasi vasopressin dalam sirkulasi darah setelah terjadinya perdarahan hebat dapat meningkat cukup tinggi untuk meningkatkan tekanan arteri sebanyak 60 mmHg. Dalam banyak keadaan, hal tersebut dapat mengembalikan tekanan arteri mendekati normal.
Vasopressin memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal kembali ke dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan tubuh. Hal tersebut merupakan alas an vasopressin mendapat sebutan lain sebagai hormone antidiuretik.
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadang-kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004). Hal tersebut akan memperlambat kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka  panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Dalam tubuh kita terdapat sistem otonom untuk mengatur keseimbangan kadar natrium di dalam darah. Jika kadar natrium terlalu rendah, sensor dalam pembuluh darah dan ginjal akan mengetahui bila volume darah menurun. Kelenjar adrenal akan mengeluarkan hormone aldosteron, sehingga ginjal menahan natrium. Kelenjar hipofisa mengeluarkan hormone antidiuretik, sehingga ginjal menahan air.
Jika kadar natrium terlalu tinggi, otak akan mengirimkan sinyal rasa haus, sensor dalam pembuluh darah dan ginjal akan tahu sehingga ginjal dirangsang untuk mengeluarkan lebih banyak natrium dan air kencing, sehingga mengurangi volume darah.
Jadi natrium dan klorida merupakan ion utama cairan ekstraselluler. Kandungan Na+ yang tinggi menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.
Sebaliknya kalium (potassium) merupakan ion utama di dalam cairan intraseluler. Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium. Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah. (Astawan, 2009).


C. Mekanisme Ginjal dalam Pengaturan Volume Cairan Ekstrasel.
Cairan tubuh terdiri dari dua kompartemen cairan, yaitu: ruang intra seluler (cairan dalam sel) dan ruang ekstra seluler (cairan luar sel). Kurang lebih 2/3 cairan tubuh berada dalam kompartemen cairan intra sel, dan kebanyakan terdapat pada massa otot skeletal.
Kompartemen cairan ekstrasel lebih jelas dibagi menjadi ruang:
Intra vascular (cairan dalam pembuluh darah), mengandung plasma.
Ruang interstitial, mengandung cairan yang mengelilingi sel dan jenisnya. Contohnya limfe..
Ruang muskuler, merupakan bagian terkecil dari cairan ekstra seluler dan mengandung kurang lebih 1  liter cairan setiap waktu.
Komponen elektrolit yang tersimpan di dalam cairan ekstrasel diantaranya adalah ion Natrium dan Kalium.
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraselular dan hanya sejumlah kecil natrium berada dalam cairan intraselular (Suhardjo, 1992). Makanan sehari – hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu, tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. Taksiran kebutuhan natrium sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 500 mg. WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (ekivalen dengan 2400 mg natrium). Pembatasan ini dilakukan karena peranan potensial natrium dalam menimbulkan tekanan darah tinggi (Almatsier, 2001)
Natrium juga menjaga keseimbangan asam basa didalam tubuh dengan mengimbangi zat – zat yang membentuk asam. Natrium berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. Natrium berperan pula dalam absorpsi glukosa dan sebagai alat angkut zat – zat gizi lain melalui membran, terutama melalui dinding usus (Almatsier, 2001).
 Kalium merupakan ion bermuatan positif, akan tetapi berbeda dengan natrium, kalium terutama terdapat didalam sel, sebanyak 95% kalium berada di dalam cairan intraseluler (Almatsier, 2001). Peranan kalium mirip dengan natrium, yaitu kalium bersama – sama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotis dan keseimbangan asam basa. Bedanya, kalium menjaga tekanan osmotik dalam cairan intraselular (Winarno, 1995).
Absorpsi kalium dari makanan adalah secara pasif dan tidak memerlukan mekanisme spesifik. Absorpsi berlangsung di usus kecil selama konsentrasi di saluran cerna lebih tinggi daripada didalam darah.

Ginjal adalah regulator utama kalium didalam tubuh yang menjaga kadarnya tetap didalam darah dengan mengontrol eksresinya. Kadar kalium yang tinggi dapat meningkatkan eksresi natrium, sehingga dapat menurunkan volume darah dan tekanan darah (Anonim,2004)
Kalium merupakan bagian essensial semua sel hidup, sehingga banyak terdapat dalam bahan makanan. Kebutuhan minimum akan kalium ditaksir sebanyak 2000 mg sehari. Kalium terdapat dalam semua makanan mentah/segar, terutama buah, sayuran dan kacang – kacangan (Almatsier, 2001).
Volume cairan ekstrasel terutama ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan keluaran air dan garam, dengan mempertahankan keseimbangan garam (natrium) dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Oleh sebab itu beban pengaturan volume ekstrasel terletak pada ginjal yang harus menyesuaikan pengeluaran garam dan arinya agar sesuai dengan asupan garam dan air dalam keadaan normal. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam (natrium) dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam:
eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar;
Pemasukan air melalui makanan dan minuman 2200 ml
Air metabolisme/oksidasi   300 ml
-------------
2500 ml
Pengeluaran air melalui insensible loss (paru-paru & kulit)  900 ml
urin 1500 ml
feses  100 ml
-------------
2500 ml
Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.
Memperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam. ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri. Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal.
2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel.
 Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.  Ekresi kalium ditentukan oleh jumlah dari ketiga prosese ginjal berikut :
Laju filtrasi kalium (GFR dikali konsentrasi kalium plasma)
Laju reabsorbsi kalium oleh Tubulus
Laju sekresi kalium oleh tubulus.
Normal laju filtrasi kalium adalah sekitar 756 mEq/hari (GFR 180 L/hari dikali dengan kalium plasma 4,2 mEq/L, laju filtarsi ini biasanya relative konstan. Jika terjadi penurunan GFR yang berat pada penyakit ginjal tertentu dapat menyebabkan pengumpulan kalium dan hiperkalemia.
Pengaturan kalium dalam tubuh : Sekitar 65% kalium disaring akan direabsorbsi di tubulus proximal. Sekitar 25-30% sisanya direabsorbsi di ansa henle, terutama segmen tebal bagian asenden diamn kalium kotranspor dengan Na, Cl.
Ganguan reabsorbsi kalium pada segemen-segmen ini dapat mempengaruhi ekskresi kalium, tetapi banyak variasi ekskresi kalium dari hari ke hari.
Tempat yang paling penting untuk pengaturan ekskresi kalium adalah tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis.
Pada tempat ini, kalium dapat direabsorbsi pada suatu waktu dan pada waktu yanglain dapat disekresikan, bergantung keperluan tubuh.
Jika asupen kalium yang tinggi, kebutuhan ekskresi kalium tambahan hampir semuanya ducapai melalui peningkatan sekresi kalium ke dalam tubulus distal dantubulus kolingetes.
Jika asupan kalium menurun dibawah normal, laju sekresi kalium di tubulus distal dan tubulus kolingetes menurun, menyebabkan pengurangan sekresi kalium urine. Dengan pengurangan asupan kalium yang sangat bersar, jumlah bersih reabsorbsi kalium pada segmen-segmen distal nefron dan ekskresi kalium dapat turun sampai1% kalium dalam filtrate glomerulus. Sehingga menimbulkan hipokalemia, yang menyebabkan tekanan osmotic pembuluh darah abnormal.
Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:
Perubahan osmolaritas di nefron. Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm).
Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus  koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.
Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan. Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.
D. Integrasi Mekanisme Ginjal dan Pengaturan Volume Darah dan Cairan Ekstrasel.
Hubungan antara mekanisme pengaturan volume darah dan cairan ekstrasel merupakan mekanisme umpan  timbal balik yang menunjukkan peran ginjal dalam mempengaruhi kerja jantung. Umpan balik ginjal dan system sirkulasi tersebut mempunyai peran utama dalam pengaturan tekanan darah jangka panjang.
Salah satu mekanisme yang paling dasar dan kuat untuk mengatur volume darah dan volume cairan ekstrasel dan juga untuk mempertahankan keseimbangan natrium dan air adalah penggaruh tekanan darah terhadap sekresi natrium dan air.
Pengeluaran air dari tubuh diatur oleh ginjal dan otak. Hipotalamus mengatur konsentrasi garam didalam darah, dengan merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan hormon antidiuretika (ADH). ADH dikelurkan bila volume darah atau tekanan darah terlalu rendah. ADH merangsang ginjal untuk menahan atau menyerap kembali air dan mengeluarkannya kembali kedalam tubuh.
Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih belum diketahui secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat hipotalamus, terdapat reseptor neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut osmoreseptor.  Bila cairan ekstrasel menjadi terlalu pekat, cairan akan ditarik dengan cara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang dan menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam hipotalamus agar menghasilkan sekresi ADH tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel menjadi terlalu encer, air bergerak dengan cara osmosis ke arah yang berlawanan, yaitu masuk ke dalam sel, dan menurunkan sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun beberapa peneliti meyakini letak osmoreseptor di dalam hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di dalam nukleus supraoptik sendiri), peneliti lainnya meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah yang terletak di ventrikel ketiga pada dinding anteroventralnya.
Tanpa menghiraukan mekanismenya, cairan tubuh yang pekat akan merangsang nukleus supraoptik, sedangkan cairan tubuh yang encer akan menghambatnya, terdapat sistem pengaturan umpan balik yang dapat mengatur tekanan osmotik total cairan tubuh.
Bila konsentrasi ADH sangat kecil dapat menyebabkan peningkatan penahanan air oleh ginjal, konsentrasi ADH yang lebih tinggi mempunyai efek yang kuat untuk menyebabkan konstriksi arteriol di seluruh tubuh sehingga meningkatkan tekanan arteri. Karena alasan inilah, ADH mempunyai nama lain, yaitu vasopressin.
Salah satu rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan volume darah. Keadaan ini terjadi secara hebat terutama saat volume darah turun 15 sampai 25 persen, atau lebih; kecepatan sekresi kadang-kadang meningkat sampai 50 kali dari normal. Penyebabnya adalah sebagai berikut :
Atrium mempunyai reseptor regangan yang dieksitasi oleh pengisian yang berlebihan. Bila reseptor regangan ini tereksitasi, reseptor akan mengirimkan sinyal ke otak agar menghambat sekresi ADH. Sebaliknya, bila reseptor tidak tereksitasi akibat pengisian yang tidak penuh, akan terjadi proses yang berlawanan, yaitu peningkatan sekresi ADH yang sangat besar. Penurunan regangan baroreseptor di daerah karotis, aorta, dan paru juga merangsang sekresi ADH.
Ion hidrogen yang disekresi oleh sel interkalatus diperantai oleh mekanisme transpor hidrogen-ATPase. Hidrogen dihasilkan dalam sel-sel ini melalui kerja karbonik anhidrase terhadap air dan karbon dioksida untuk membentuk asam karbonat, yang kemudian berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen kemudian disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan untuk setiap ion hidrogen yang disekresikan, tersedia sebuat ion bikarbonat untuk diresorbsi melewati membran basolateral. Sel interkalatus juga mereabsorbsi ion kalium.
Karakteristik fungsional dari bagian akhir tubulus distal dan tubulus koligentes dapat diringkas sebagai berikut :
Membran tubulus kedua segmen hampir seluruhnya impermeabel terhadap ureum, mirip dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal; jadi, hampir semua ureum yang memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan masuk ke dalam duktus koligentes untuk diekskresikan dalam urin, walaupun beberapa reabsorbsi ureum terjadi di dalam duktus koligentes bagian medula.
Tubulus distal bagian akhir dan segmen tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi ion natrium dan kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon, terutama aldosteron. Pada waktu yang bersamaan, segmen ini menyekresikan ion kalium dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulusm suatu proses yang juga dikontrol oleh aldosteron dan faktor-faktor lain seperti konsentrasi ion kalium dalam cairan tubuh.
Sel interkalatus dari segmen-segmen nefron ini banyak menyekresikan ion hidrogen melalui mekanisme hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan sekresi aktif sekunder ion hidrogen melalui tubulus proksimal, karena proses ini mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien konsentrasi yang besar, sebesar 1000 terhadap 1. Hal ini kebalikan dedngan gradien ion hidrogen yang relatif kecil (4 sampai 10 kali) yang dapat dicapai melalui sekresi aktif sekunder di dalam tubulus proksimal. Jadi, sel interkalatus memainkan peranan kunci dalam regulasi asam-basa cairan tubuh.
Permeabilitas tubulus distal bagian akhir dan duktus koligentes kortikalis terhadap air dikontrol oleh konsentrasi ADH, yang juga disebut vasopressin. Dengan kadar ADH yang tinggi, segmen-segmen ini sesungguhnya impermeabel terhadap air. Karakteristik yang khusus ini menyediakan suatu mekanisme penting untuk pengaturan derajat pengenceran atau pemekatan urin.
Walaupun duktus koligentes bagian medula mereabsorbsi kurang dari 10 persen air dan natrium yang difiltrasi, duktus ini adalah bagian terakhir dari pemprosesan urin dan, karena itu, memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan keluaran akhir dari air dan zat terlarut dalam urin.
Sel epitel duktus koligentes mendekati bentuk kuboid dengan permukaan yang halus dan relatif sedikit mitokondria. Ciri-ciri khusus segmen tubulus ini adalah sebagai berikut :
Permeabilitas duktus koligentes bagian medula terhadap air dikontrol oleh kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, air banyak direabsorbsi ke dalam interstisium medula, sehingga mengurangi volume urin dan memekatkan sebagian besar zat terlarut dalam urin.
Tidak seperti tubulus koligentes kortikalis, duktus koligentes bagian medula bersifat permeabel terhadap ureum. Oleh karena itu, beberapa ureum tubulus direabsorbsi ke dalam interstisium medula, membantu meningkatkan osmolalitas daerah ginjal ini dan turut berperan pada seluruh kemampuan ginjal untuk membentuk urin yang pekat.
Duktus koligentes bagian medula mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien konsentrasi yang besar, seperti yang juga terjadi dalam tubulus koligentes kortikalis. Jadi, duktus koligentes bagian medula juga memainkan peranan kunci dalam mengatur keseimbangan asam-basa.

Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada tubulus distal, tubulus koligentes, dan epitel duktus koligentes. Hal ini membantu tubuh untuk menyimpan air dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengeksrkresi sejumlah besar urin yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peranan penting dalam mengontrol derajat pengenceran atau pemekatan urin.
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan cAMP dan mengaktivasi protein kinase. Kemudia kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel.molekul-molekul AQP-2 berkelompok dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin lainnya, AQP-3 dam AQP-4. di sisi basolatera; dari membran sel yang menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen AQP-2. bila konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas air.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium didalam cairan ekstraselular meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraselular ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraselular meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraselular tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah (Astawan, 2003).

Disamping itu, konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter dari arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah hipertensi. Hal yang sebaliknya juga terjadi, ketika asuan natrium berkurang maka begitu pula volume darah dan tekanan darah pada beberapa individu (Hull, 1993).
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal dan tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal.
Pada segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis, osmolaritas cairan bergantung pada kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, tubulus-tubulus ini sangat permeabel terhadap air, dan sejumlah air akan direabsorbsi. Akan tetapi, ureum, tidak begitu permeabel di bagian nefron ini, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi ureum sewaktu air direabsorbsi. Keadaan ini membuat sebagian besar ureum yang dikirim ke tubulus distal dan tubulus koligentes, masuk ke dalam duktus koligentes di bagian dalam medula, dan dari tempat inilah ureum akhirnya direabsorbsi atau diekskresikan dalam urin. Bila tidak ada ADH, hanya sedikit air yang akan direabsorbsi di segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis; oleh karena itu, osmolaritas akan menurun lebih lanjut akibat reabsorbsi aktif ion yang terus menerus dari segmen-segmen tersebut.
Konsentrasi cairan duktus koligentes di bagian dalam medula juga bergantung pada ADH dan osmolaritas interstisium medula yang dibentuk oleh mekanisme arus balik. Dengan adanya ADH dalam jumlah besar, duktus-duktus ini sangat permeabel terhadap air, dan air berdifusi dari tubulus ke dalam interstisium hingga tercapai keseimbangan osmotik, dengan konsentrasi cairan tubulus yang kurang lebih sama dengan interstisium medula ginjal (1200-1400 mOsm/L). Jadi, saat kadar ADH tinggi, dihasilkan urin yang sangat pekat tetapi berjumlah sedikit. Kareana reabsorbsi air meningkatkan konsentrasi ureum dalam cairan tubulus dan karena duktus koligentes di bagian dalam medula memiliki pengangkut ureum yang spesifik yang sangat membantu terjadinya difusi, banyak ureum dengan kepekatan yang tinggi di duktus berdifusi keluar dari lumen tubulus masuk ke dalam interstisium medula. Absorbsi ureum ini ke dalam medula ginjal turut membantu membentuk osmolaritas interstisium medula yang tinggi dan kemampuan pemekatan ginjal yang tinggi.
Ada beberapa hal penting yang patut dipertimbangkan yang mungkin tidak jelas dalam diskusi ini. Pertama, walaupun natrium klorida adalah salah satu zat terlarut utama yang turut membentuk hiperosmolaritas interstisium medula, bila diperlukan, ginjal mampu mengeluarkan urin dengan kepekatan yang tinggi yang mengandung sedikit NaCl. Hiperosmolaritas urin pada keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi zat terlarut lain, terutama produk buangan seperti ureum dan kreatinin. Satu keadaan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah dehidrasi yang disertai dengan asupan Na yang rendah. Asupan Na yang rendah akan merangsang pembentukan hormon angiotensin II dan aldosteron, yang bersama-sama menimbulkan reabsorbsi Na yang hebat dari tubulus sambil meninggalkan ureum dan zat terlarut lainnya untuk mempertahankan kepekatan urin yang tinggi.
Kedua, sejumlah besar urin encer dapat dikeluarkan tanpa meningkatkan pengeluaran natrium. Keadaan ini dapat dicapai dengan menurunkan sekresi ADH, yang akan mengurangi reabsorbsi air di segmen tubulus yang lebih distal tanpa mengubah reabsorbsi natrium secara bermakna.
Dan akhirnya, kita harus mengingat bahwa ada volume urin yang diwajibkan, yang dihasilkan oleh kemampuan pemekatan maksimum ginjal dan jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan. Oleh karena itu, jika sejumlah besar zat terlarut harus diekskresikan, zat tersebut harus disertai dengan jumlah air minimal yang diperlukan untuk mengeluarkan zat-zat tersebut.
Bila terlalu banyak air keluar dari tubuh, volume darah dan tekanan darah akan turun. Sel –sel ginjal akan mengeluarkan enzim renin. Renin mengaktifkan protein didalam darah yang dinamakan angiotensinogen kedalam bentuk aktifnya angiotensin. Angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh darah sehingga tekanan darah akan naik. Disamping itu angiotensin mengatur pengeluaran hormon aldosteron dari kelenjar adrenalin. Aldosteron akan mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air. Akibatnya, bila dibutuhkan lebih banyak air, akan lebih sedikit air dikeluarkan dari tubuh dan tekanan darah akan naik kembali (Almatsier, 2001).
Stimulasi refleks kardiovaskular terhadap pelepasan ADH dengan menurunkan tekanan arteri dan/atau menurunkan volume darah.
Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskular yang berespons terhadap penurunan tekenan darah dan/atau volume darah, meliputi refleks baroreseptor arterial dan refleks kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari daerah sirkulasi bertekanan tinggi, seperti arkus aorta dan sinus karotikus, dan dari daerah bertekanan rendah, terutama di atrium jantung. Rangsangan aferen dibawa oleh nervus vagus dan nervus glosofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus solitarius. Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang mengatur sintesis dan sekresi ADH.
Jadi, selain untuk meningkatkan osmolaritas, 2 stimulus berikut dapat meningkatkan sekresi ADH yaitu penurunan tekanan arteri dan penurunan volume darah. Kapanpun tekanan darah dan volume darah berkurang, seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang membantu mengembalikan tekanan darah dan volume darah ke keadaan normal. Itulah alasan mengapa volume darah tetap dalam keadaan konstans walaupun terjadi perubahan yang besar pada asupan cairan harian :
Alasan hal itu adalah sebagai berikut :
1. Sedikit perubahan volume darah akan menyebabkan perubahan pada curah jantung yang nyata.
2. Sedikit perubahan curah jantung menyebabkan tekanan darah yang besar.
3. Sedikit perubahan tekanan darah menyebabkan perubahan pengeluaran urin yang besar.
Semua factor ini berkerja bersama sama untuk menyediakan pengaturan umpan balik yang efektif terhadap volume darah.
Dari hal yang telah dijelaskan diatas tampak jelas bahwa volume darah dan volume cairan ekstrasel diatur secara paralel satu sama lain. Air yang ditelan mula mula masuk kedalam darah, tetapi secara cepat didistribusikan ke ruang interstisial dan plasma, oleh karena itu volume darah dan volume cairan ekstrasel diatur secara serempak.
Akan tetapi, terdapat keadaan ketika distribusi cairan ekstrasel antara ruang interstisial dan darah sangat berbeda. Factor factor utama yang menyababkan pengumpulan cairan interstisial antaral laian :
1. Peningakatan tekanan hidrostatik kapiler.
2. Peningkatan tekanan osmotic koloid plasma.
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Obstruksi pembuluh limfatik
Selain itu ada system yang menghubungkan antara mekanisme pengaturan volume darah dan cairan ekstrasel yaitu RAAS (renin-angiotensin-aldosterone system) memainkan peran penting dalam pengaturan volume darah dan tahanan system vaskuler, dimana keduanya bersama mempengaruhi cardiac output dan tekanan arterial.
Sebagaimana disebutkan dalam namanya, ada 3 komponen penting dalam system ini yaitu :
1) Renin
2) Angiotensin
3) Aldosterone.
Renin, yang secara utama dilepaskan oleh ginjal, menstimulasi bentuk dari angiotensin dalam darah dan jaringan, yang merubah stimulasi pelepasan aldosterone dari corteks adrenal
Renin adalah enzyme proteolytic yang dilepaskan ke dalam sirkulasi utamanya oleh ginjal. Pelepasannya distimulasi oleh :
1) Aktivasi saraf sympathetic (diaktifkan melalui b1-adrenoceptors)
2) Hypotensi arteri renalis (disebabkan hipotensi sistemik atau stenosis arteri renalis)
3) Penurunan pengiriman sodium ke tubulus distal dari ginjal.
Ketika renin dilepaskan ke dalam darah, beraksi atas substrat sirkulasi yaitu angiotensinogen yang diubah menjadi angiotensin I. Endotel Vaskuler, khususnya dalam paru, memiliki enzym yaitu angiotensin converting enzyme (ACE) yang mengubah angiotension I menjadi angiotensin II.
Ketika tekanan darah rendah, ginjal mengeluarkan renin. Rennin merangsang aktivasi RAAS seperti yang telah disebutkan diatas. Angiotensin II menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan darah. Angiotensin II juga merangsang sekresi hormon aldosterone dari korteks adrenal. Aldosterone menyebabkan tubulus ginjal menahan sodium air. Peningkatan volume cairan dalam tubuh ini, juga menaikkan tekanan darah.

 DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A.C., Hall, J.E.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Editor bahasa Indonesia: Setiawan, I. EGC. Jakarta.
Marieb, E.N., Branstrom, M.J. 1996. Interactive Physiology: Cardiovascular System. A.D.A.M. and Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
http://gudangbukumurahmeriah.blogspot.com/2010/03/fisiologi-faal-anti-diuretic-hormone.html
www.wikipedia.com
http://kamikazeners.blogspot.com/2009/06/pengaruh-angitension-terhadap-tekanan.html
http://dokterrizy.blogspot.com/2011/03/pengeluaran-cairan-tubuh-oleh-ginjal.html
fharmacy.blogspot.com/.../mekanisme-terjadinya-hipertensi.html
www.scribd.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar